Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Modul 1.1 Hasriani

 

Jurnal Refleksi Dwi Mingguan

Pendidikan Guru Penggerak

Modul 1.1

 

Penulis : Hasriani, S.Pd.

Unit Kerja : SMA Negeri 1 Malunda

CGP Angkatan 7, Kabupaten Majene Sulawesi Barat

24 November 2022



Dalam pendidikan guru, jurnal refleksi dipandang sebagai salah satu elemen kunci pengembangan keprofesian karena dapat mendorong guru untuk mengaitkan teori dan praktik, serta menumbuhkan keterampilan dalam mengevaluasi sebuah topik secara kritis (Bain dkk, 1999). Menuliskan jurnal refleksi secara rutin akan memberikan ruang bagi seorang praktisi untuk mengambil jeda dan merenungi apakah praktik yang dijalankannya sudah sesuai, sehingga ia dapat memikirkan langkah berikutnya untuk meningkatkan praktik yang sudah berlangsung (Driscoll & Teh, 2001). Jurnal ini juga dapat menjadi sarana untuk menyadari emosi dan reaksi diri yang terjadi sepanjang pembelajaran (Denton, 2018), sehingga Anda dapat semakin mengenali diri sendiri.

Salah satu upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memajukan pendidikan Indonesia adalah dengan menciptakan pembelajaran yang berpusat pada murid dan menggerakkan ekosistem pendidikan yang lebih baik melalui Program Guru Penggerak. Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Nadiem Anwar Makariem, menyatakan bahwa Guru Penggerak adalah ujung tombak transformasi pendidikan Indonesia. Diharapkan dengan adanya program Guru Penggerak, pendidikan lebih berpihak pada anak sehingga tidak hanya mencetak lulusan yang cerdas secara akademik tetapi juga memiliki karakter yang baik sesuai dengan Pancasila.

Setelah mengikuti PGP atau pendidikan guru penggerak selama 2 minggu dengan mempelajari modul 1.1 cara pandang saya terhadap peserta didik mulai membaik. Tidak hanya memandang peserta didik sebagai tempat untuk mentransfer ilmu, namun menjadikan peserta didik dapat menerima ilmu serta tuntunan yang baik dari saya selaku pendidik. Karena, kurangnya kesadaran yang selama ini saya rasakan dalam memandang profesi ini, yang ternyata merupakan profesi yang sangat mulia. Dan, tentu harapan kedepannya bisa lebih baik lagi dengan cara memperbanyak merefleksi diri. 

Refleksi bisa diterapkan dengan berbagai cara diantaranya refleksi dengan lisan, refleksi melalui jurnal, refleksi dengan video, refleksi menggunakan catatan bisa juga dengan memanfaatkan berbagai aplikasi yang lebih menarik. Ernesta menjelaskan ada banyak model dalam melakukan refleksi, salah satu model refleksi yang dapat diterapkan yakni 4F: Fact, Feeling, Finding, Future. (1) Fact: Ceritakan pengalaman Anda mengikuti pembekalan pada hari ini? Ceritakan juga hambatan atau kesulitan Anda selama proses pembelajaran hari ini?; (2) Feeling: Bagaimana perasaan Anda selama pembelajaran berlangsung? Ceritakan hal yang membuat Anda memiliki perasaan tersebut?; (3) Finding: Ceritakan yang anda pelajari pada hari ini? Elaborasi cerita Anda dengan pembelajaran yang paling berkesan?; (4) Future: Ceritakan manfaat pembelajaran pada hari  ini  untuk  peran  Anda di sekolah.

Saya menggunakan model 4F dalam jurnal refleksi dwi mingguan ini dengan menuliskan catatan selama pelaksanaan selama menerapkan filosofi Ki Hajar Dewantara.  Adapun pertanyaan pemantik yang telah diramu dalam refleksi ini, sebagai berikut:

  1. Fact (Peristiwa): Ceritakan pengalaman Anda mengikuti pembelajaran pada minggu ini atau pada saat aksi nyata ke dalam kelas ? Apa hal baik yang saya alami dalam proses tersebut? Ceritakan juga hambatan atau kesulitan Anda selama proses pembelajaran pada minggu ini? Apa yang saya lakukan dalam mengatasi kendala tersebut?
  2. Feeling (Perasaan): Bagaimana perasaan Anda selama pembelajaran berlangsung? Apa yang saya rasakan ketika menerapkan aksi nyata ke dalam kelas? Ceritakan hal yang membuat Anda memiliki perasaan tersebut.
  3. Finding (Pembelajaran) : Pelajaran apa yang saya dapatkan dari proses ini ? Apa hal baru yang saya ketahui mengenai diri saya setelah proses ini?
  4. Future (Penerapan) : Apa yang bisa saya lakukan dengan lebih baik jika saya melakukan hal serupa di masa depan ? Apa aksi/tindakan yang akan saya lakukan setelah belajar dari peristiwa ini?

  

Disini Saya akan mencoba menulis Jurnal Refleksi Dwi Mingguan dari pengalaman pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara pada Modul 1.1

1.      Facts (Peristiwa)

a.      Pembukaan PGP Angkatan 7

Kegiatan pertama dalam Pendidikan Guru Penggerak ini yakni pembukaan PGP pada hari Kamis, 20 Oktober 2022 oleh  Kemendikbudristek yaitu Bapak Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A., PLT Dirjen GTK Ibu Prof. Nunuk Suryani, M.Pd., Pendamping PLT Dirjen yakni PLT Direktur Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Bapak Dr. H. Aswardi, M.Si., Direktur Guru Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Ibu Dr. Santi Ambarumi, M.Ed., Direktur Guru Pendidikan Dasar Bapak Dr. Drs. Rahmadi Widiarto, M.A., Pelaksana Tugas Direktur Pendidikan Profesi Guru Bapak Temu Ismail, S.Pd., M.Si., Direktur Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah dan Tenaga Kependidikan, Bapak Dr. Praptono M.Ed. Para Gubernur, Wali Kota, dan Bupati  kepala dinas pendidikan provinsi, dan kabupaten/kota, para kepala BGP dan Balai Besar Guru Penggerak, Pengajar Parkatek, Instruktur, Fasilitator dan CGP Angkatan 7 melalui zoom dan live streaming youtube.

https://www.youtube.com/watch?v=p_tkp67aDzs

Dalam sambutan pengantar yang disampaikan oleh Prof. Nunuk Suryani, M.Pd menyampaikan Jumlah peserta CGP pada angkatan 7 sebanyak 18.079 peserta. Dan, harapan beliau, semoga CGP, fasilitator serta pengajar praktek dapat menjalankan amanah dalam PGP ini dengan baik, karena apapun yang dilakukan dari hati akan diterima sampai ke hati.

Sedangkan, Pengantar dari Kemendikbudristek Bapak Nadiem Anwar Makarim menyampaikan, rasa kagum atas semangat dari para guru untuk memberikan yang terbaik untuk para muridnya terlepas dari semua keterbatasan yang ada.  Dan, yakin bahwa tidak perlu lagi meragukan dedikasi para guru se-Indonesia, tapi sudah sampai pada kondisi dimana dedikasi harus diimbangi juga dengan rasa berani. Keberanian untuk refleksi, keberanian berubah untuk ke arah yang lebih baik, keberanian untuk menjadi pemimpin perubahan. Adapaun landasan pemikiran awal dalam membuat program pendidikan guru ini yakni lahirnya guru yang berbeda, jauh lebih konfrehensif yang benar-benar membantu guru untuk mengembangkan diri mulai dari kemampuan teknis sebagai pengajar sampai pola pikir sebagai pendidik generasi penerus. Dalam perjalanan tentu akan menghadapi tantangan dan disitulah uji ketangguhan sebagai penggerak dalam transpormasi dan pemimpin perubahan yang sejati.

Setelah pembukaan, kami diarahakn kembali untuk menerima arahan tentang pengenalan mengenai LMS dari BGP Sulawesi Barat atau BGP masing-masing. Dalam hal ini, dipandu oleh Bu Mece dan Pak Jasman, yang membuka jalan awal CGP dalam mengenal ruang LMS. Pertemuannya juga melalui zoom dan berjalan lancar.

b. Pre-Test

Pada Tanggal 21 Oktober 2022 adalah jadwal pre-test untuk mengukur tingkat kemampuan awal kami sebagai guru sebelum menerima materi dari modul PGP Tersebut. Meskipun banyak hal baru yang saya dapatkan dari soal, namun saya berusaha menjawab dengan penuh keyakinan dan kejujuran untuk menjadikan refleksi diri dalam pengembangan diri pula untuk ke depannya. 

c. Lokakarya Orientasi

Lokakarya orientasi diadakan hari Minggu, 23 oktober 2022 di SMPN 4 Majene. Dalam Lokakarya ini, dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Majene dan dihadiri pengawas sekolah, pengajar praktek dari Kabupaten Majene, kepala sekolah dan CGP Angkatan 7 yang telah lolos tahap seleksi 2 dan berhak mengikuti PGP.

Kegiatan lokakarya orientasi mengarahkan kita untuk menemukenali diri, materi tetang harapan pendidikan yang diharapkan dalam PGP ini dan memberikan arahan untuk membuat portopolio digital.  

d. Memulai Aktivitas di LMS

Setelah lokakarya kami laksanakan, kami memulai materi dengan belajar mandiri, dan mengirim tugas sesuai dengan pemahaman kita terhadap materi yang diberi istilah memulai dari diri. Bagaimana pemikiran kita tentang Ki Hajar Dewanatara dalam pendidikan.

Dan kegiatan selanjutnya adalah melakukan pertemuan eksplorasi konsep dalam ruang diskusi bersama teman kelompok untuk membahas materi yang telah kita pelajari secara mandiri. Baik dengan mengajukan pertanyaan ataupun memberi respon atau jawaban terhadap pertanyaan teman kelompok yang lain.

Kemudian, mengadakan meet dalam ruang kolaborasi diskusi virtual bersama dengan fasilitator hebat yakni Pak Edi Andriana. Beliau mengajak kita berdiskusi dan mengajak kita menyampaikan pemahan kita terhadap materi dengan mengajukan pertanyaan pemantik. Dan akhir pertemuan kami, beliau memberi arahan tentang persiapan dalam vicon selanjutnya.

Pada vicon kedua, dalam ruang kolaborasi diskusi kelompok, kami membahas panjang lebar tentang budaya apa yang akan kami terapkan dalam kelas, agar peserta didik dapat mencerminkan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Pada diskusi kelompok B menyepakati untuk mengambil “Metaweq” sebagai budaya yang dapat dilestarikan dan diterapkan di kelas untuk menuntun peserta didik agar dapat selamat dan bahagia baik secara individu maupun hidup bermasyarakat.

Sehingga, vicon yang ketiga kami mempresentasikan hasil diskusi kelompok kami dalam ruang kolaborasi. Kami menyampaikan bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara yang sejalan dengan budaya daerah kita khususnya di Sulawesi Barat yakni metaweq karena kami mempercayai dan meyakini dengan diterapkannya budaya ini, maka anak-anak dapat dijauhkan dari hal-hal buruk paling tidak secara sisi kesopanan. Karena, sesuai narasumber dari salah satu budayawan Mandar yakni Ridwan Alimuddin mengatakan “‘Metaweq’ adalah sikap, adat kesopanan bagi masyarakat Mandar, ‘metaweq’ erat kaitannya dengan ‘siriq’ (malu). Mua dissangi siriq dissang tomi tuqu metaweq” Artinya, orang Mandar mengsakralkan ‘metaweq’ sebagai bentuk tuntunan kepada anak untuk mencegah ke perilaku yang negatif.

Dari dasar itulah, kami menetapkan metaweq sebagai budaya yang akan kami terapkan dalam kelas untuk menumbuh kembangkan budi pekerti anak menuju keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dengan cara membiasakan diri saling menghargai dengan ‘mewateq’ setiap bertemu dengan teman atau guru,  sebelum berbicara dengan guru, ataupun teman yang lebih tua darinya juga sebelum presentasi di depan atau menjawab pertanyaan dalam proses belajar mengajar dalam kelas. Semua ini bermakna meminta izin dengan penuh tanggung jawab dan penuh kasih sayang yang diimplementasikan dalam sikap saling menghargai melalui ‘metaweq’.

Setelah ruang kolabaroasi berlangsung selama 3 kali vicon, dilanjutkan mengirim tugas demontrasi kontekstual dengan menetapkan metaweq  sebagai budaya yang akan kami terapkan dalam kelas dengan memberikan informasi mengenai tantangan dan solusi dalam penerapan tersebut.

Meet terakhir dalam modul 1.1 bertemu dengan instruktur A. Rahman yang memberikan kami ilmu dengan penyampaian materi yang sangat sistematis dan komunikatif, sehingga membuka pemikiran kami terhadap pemahaman dalam materi modul 1.1 pemikiran Ki Hajar Dewantara. Selanjutnya, mengirim tugas   koneksi materi dan aksi nyata diunggah dalam portopolio digital.

 

2.      Feeling (Perasaan)

Perasaan saya setelah mengikuti PGP dan mempelajari Modul 1.1 tentang pemikiran ki Hajar Dewantara memandang pendidikan, menjadikan saya merasa bersalah atas apa yang saya lakukan selama ini. Karena, apa yang saya pikirkan dan lakukan selama ini banyak yang keliru. Memadang anak hanya sebatas tempat untuk mentransfer ilmu, sebagai tempat untuk menggugurkan kewajiban tanpa memandang kebutuhan mereka apakah terpenuhi ataukah tidak sebagai anak didik.

Saya berusaha sedikiti demi sedikit keluar dari zona tersebut. meskipun belum sempurnah, namun saya sudah mulai merangkak untuk mengubah diri agar rasa bersalah tersebut dapat terobati. Untuk menghadapi kebaikan, tentu akan ada keburukan sebagai tantangannya, sehingga saya berusaha untuk menghadapi tantangan tersebut dengan semangat dan keyakinan, bahwa niat yang baik akan mendapat ujian, sekaligus jalan untuk menyelesaikannya pula.

Saya berusaha membangun semangat dan rasa percaya diri saya sebagai pendidik, bahwa dapat mencapai tujuan yang baik memanusiakan manusia, dengan memberikan tuntunan yang benar sesuai kodrat alam dan zaman pada peserta didik. Berawal dari, Ing Ngarso Sung Tolodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.  Sehingga, tujuan pendidikan untuk menemukan keselamatan dan kebahagiaan lahir batin anak dapat tercapai.

 

3.      Findings (Pembelajaran)

 

Pembelajaran yang saya dapatkan dari PGP dalam modul 1.1 ini mengubah pola pikir saya, bahwa peserta didik tidak hanya membutuhkan ilmu lahir saja, namun terlebih untuk ilmu batin anak agar keselamatan dan kebahagiaan dapat mereka dapatkan dalam kehidupannya secara individu, maupun bermasyarakat.

Dalam arti bahwa pendidikan itu bukanlah memberi ilmu tetapi lebih tepatnya menuntun untuk mengarahkan peserta didik mendapatakan ilmu lahir dan batinnya. Melalui  Dasar pemikiran ki hajar Dewantara saya merasa mendapat bekal yang tidak ternilai harganya. Dan, hal ini memanglah hal yang sangat penting kita sadari untuk menjalani profesi sebagai pendidik.

Sebagai guru atau seorang pendidik saya harus bisa menuntun sesuai kodrat anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya dengan mengacu pada trilogi pendidikan yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani.

Selain itu, saya saharusnya menumbuhkan karakter yang kuat pada diri anak dalam menghadapi perkembangan zaman dengan memberikan penanaman karakter dari berbagai budi pekerti atau budaya luhur yang menjadi jati diri kita sebagai manusia yang berbudaya. Bukanlah Indonesia jika tidak hidup dengan berbagai macam budaya. Namun, hal itu juga selama ini saya abaikan, karena menganggap bahwa perkembangan zaman telah mengubah sikap peserta didik dan tidak menanamkan paragdigma bahwa budaya dapat dijadikan sebagai pondasi utama dalam menghadapi perkembangan zaman kapanpun itu.

Sebagai pendidik saya harus senantiasa menghamba kepada anak atau dengan kata lain berpihak pada mereka, tidak banyak menuntut tetapi harus digeser menjadi lebih banyak menuntun. Saya juga harus memandang murid bukanlah kertas yang bisa digambar sesuai kemauan saya, karena mereka lahir dengan kodrat yang samar. Tugas kita adalah menebalkan garis-garis samar itu agar dapat memperbaiki lakunya untuk menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya.

Diibaratkan sedang menanam padi, jangan berharap akan tumbuh jagung dan rawatlah ia sesuai dengah kodrat sebagai tanaman padi. Jika ia berasal dari benih yang kurang baik, maka tidak menutup kemungkinan ia masih memiliki kesempatan untuk tumbuh layaknya benih unggul jika diberikan pupuk dan perawatan yang baik. Namun sebaliknya, jika ia berasal dari benih berkualitas dan tumbuh tanpa pemeliharaan yang baik, maka bisa jadi benih itu akan rusah.  Sehingga, sangat penting merawat agar benih kurang baik, tumbuh manjadi tanaman yang baik, dan benih yang baik tumbuh subur dan memanen hasil yang baik pula.

4.      Future (Penerapan)

Kodrat alam  berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan isi dan irama. Artinya setiap anak sudah membawa sifat atau karakter masing-masing. Jadi guru tidak bisa menghapus sifat dasar tersebut. Yang bisa dilakukan adalah menunjukan dan membimbing mereka agar muncul sifat-sifat baiknya. Sehingga menutupi/mengaburkan sifat-sifat jeleknya.

Dari kodrat itulah, perlu tutunan menuju keselamatan dan kebagiaan setinggi-tingginya. Pemikiran KHD yang sesuai dengan nilai-nilai luhur kearifan budaya daerah, seperti budaya “Metaweq”.  Karena memberikan tuntunan hidup selamat dan bahagia sebagai makhluk individu maupun bermasyarakat, dengan adanya saling menghargai dan saling menyayangi.

Dalam penerapan yang saya lakukan di kelas, untuk mengitegrasikan pendidikan dengan pemikiran ki Hajar Dewantara, saya berinisiatif dengan membangun kebiasaan-kebiasaan untuk menerapkan kembali budi pekerti yang sempat dilupakan dan dijauhi oleh peserta didik. Dan, ditambah tidak adanya rasa kepedulian kami sebagai guru untuk mempertahankan budaya tersebut, yakni membiasakan budaya metaweq sebagai penanaman moral baik pada anak.

Untuk mewujudkan peserta didik yang memiliki ilmu lahirnya, juga akan tertanam ilmu batin anak. Dilihat dari, kutipan artikel yang ditulis oleh Ardila (2016:48),  Metaweq’ bagi masyarakat Mandar adalah bentuk komunikasi sosial dalam berinteraksi dengan orang lain, jika metaweq sikap saling menghargai tidak dilakukan, maka orang-orang akan cenderung melakukan hal-hal yang bersifat negatif/bernilai buruk, baik dalam perkataan maupun perbuatannya. 

Dan diperkuat oleh Ridwan Alimuddin salah satu budayawan dari Sulawesi Barat,  mengatakan bahwa, Metaweq adalah sikap, adat kesopanan bagi masyarakat Mandar, metaweq erat kaitannya dengan siriq (malu). Mua dissangi siriq dissang tomi tuqu metaweq, artinya orang Mandar mengsakralkan metaweq sebagai bentuk tuntunan kepada anak untuk mencegah ke perilaku yang negatif.  Dari alasan inilah saya mendorong dan termotivasi untuk kembali menerapkan budaya luhur agar menguatkan benteng karakter unggul pada anak menghadapi perkembangan zaman.  

Pengaplikasiannya di kelas, yakni:

  1. Membiasakan metaweq setiap kali izin keluar dari ruangan, dengan cara mengangkat tangan terlebih dahulu, kemudian metaweq,
  2. Metaweq setiap jalan melewati temannya


  1. Setiap setiap kali ingin bertanya atau menjawab pertanyaan dan persentase maka dibiasakan untuk mengatakan taweq artinya izin berbicara,

 



 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Pendidikan Guru Penggerak Modul 2.1

Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Modul 3.3

JURNAL REFLEKSI DWI MINGGUAN MODUL 2.3